Pasca Pandemi Covid-19, Industri Sektor Manufaktur di Indonesia Fokus pada Digitalisasi Logistik
04/07/2022
Dampak Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19
Penyebaran pandemi Covid-19 telah mengakibatkan disrupsi di berbagai bidang. Keterbatasannya telah membuat beberapa perputaran roda bisnis terhambat, bahkan berhenti total sehingga sebagian sektor industri mengalami penurunan dalam perekonomiannya. Sejumlah sektor industri yang sangat merasakan dampaknya adalah pariwisata, ritel, dan manufaktur. Seperti yang dikutip oleh Wakil Presiden Moody’s Benjamin Nelson dalam suatu laporan, “Sektor yang bergantung pada perdagangan dan pergerakan bebas orang-orang paling terpapar, seperti penumpang maskapai penerbangan, pengiriman, dan penginapan dan liburan meliputi jalur pelayaran dan restoran”.
Penurunan paling tajam sempat terjadi di tahun 2020 pada sektor industri pariwisata yang menurun hingga 80% dan industri ritel offline yang mengalami penurunan 45-89%. Tidak heran apabila kedua industri ini yang paling merasakan dampaknya. Pasalnya, kedua industri tersebut sangat bergantung pada perpindahan dan pergerakan manusia agar bisnisnya tetap produktif. Industri manufaktur juga sempat mengalami perubahan dalam produksi, permintaan, dan supply chain-nya. Pertumbuhannya di Indonesia juga melambat hingga 51,3%, padahal pemerintah sedang gencar ingin melakukan pertumbuhan ekspansi industri manufaktur di tahun 2022.
Selain karena terbatasnya pergerakan masyarakat, penurunan pertumbuhan beberapa industri tersebut juga disebabkan oleh faktor internal seperti kurangnya inovasi produk baru, kurangnya pemanfaatan digital, dan sistem operasional yang kurang optimal. Seperti yang terjadi pada industri pariwisata, sejak pandemi melanda para pelaku bisnis terus berlomba-lomba untuk berinovasi agar tetap bisnisnya tetap berjalan. Begitu juga dengan beberapa pelaku industri ritel yang masih mengandalkan pasar fisik atau offline. Saat pandemi melanda, pelaku bisnis ritel terpaksa harus beradaptasi dan menggalakkan digital marketing melalui sosial media serta membangun website agar pelanggan bisa melakukan online shopping.
Dampak Covid-19 pada Industri Manufaktur
Hal yang serupa juga dialami oleh sektor industri manufaktur di mana pertumbuhannya. mengalami perlambatan saat pandemi Covid-19 berlangsung. Perlambatan ini diakibatkan oleh tingginya biaya produksi dan menurunnya produktivitas pekerja yang tentunya mempengaruhi operasional logistik. Menurut data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), para pekerja industri manufaktur kehilangan jam waktu kerja sebanyak 3.700 jam dalam kurun waktu 10 minggu. Turunnya produktivitas ini berdampak pada turunnya daya beli kemudian juga pada turunnya profitabilitas pelaku industri.
Jika fokus pada produktivitas pekerja industri manufaktur, ASEAN memiliki rata-rata 78,2% dengan rincian beberapa negara anggota yang memiliki rentang 74,4% hingga 86,3%. Indonesia sendiri memiliki persentase sebesar 74,4% saja dan persentase ini merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Malaysia dan Laos memiliki persentase yang hampir sama yaitu 76,2% dan 76,7%. Memasuki rentang 80% persen ke atas, adalah negara Vietnam, lalu Thailand dengan 80,1%, Singapura sebesar 82,7%, kemudian persentase paling besar dimiliki oleh Filipina sebesar 86,3%.
Berdasarkan survei yang diadakan oleh JETRO (Japan External Trade Organization) ini, dapat disimpulkan bahwa tingkat produktivitas pekerja industri manufaktur Indonesia masih tergolong rendah di kawasan Asia Tenggara. Sangat disayangkan, sebagai negara dengan sumber daya manusia yang melimpah, Indonesia memiliki potensi tanpa batas untuk meningkatkan produktivitas di sektor manufaktur. Ini merupakan pertanda bagi para pelaku industri manufaktur agar segera beraksi dan memperbaiki hambatan produktivitasnya karena dampaknya bisa mempengaruhi operasional bisnis lainnya seperti operasional logistik. Diantaranya adalah biaya logistik yang masih tinggi dan keterlambatan pengiriman.
Sebagaimana dikutip oleh Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Shinta Kamdani dari laman Info Bank News tentang bagaimana tingginya biaya operasional logistik yang masih menjadi penghalang proses pemulihan sektor manufaktur. “Jadi, sekarang masalah logistik itu tetap ada, dan cost-nya tinggi. Sekarang semua eksportir kita mengeluh. Ada yang bilang kenaikan biaya logistiknya sampai 300%, 400%. Naiknya luar biasa, dan ini tentunya membutuhkan waktu untuk recover,” ujarnya pada sebuah diskusi yang diadakan secara virtual.
Selain faktor biaya, keterlambatan pengiriman juga seringkali terjadi sehingga mengganggu kelancaran proses supply chain secara keseluruhan. Keterlambatan ini bisa dipicu oleh beberapa hal seperti proses proses menyeleksi vendor satu per satu, mencatat delivery order di kertas, ketidakmampuan melacak armada dan driver, hingga urusan administrasi yang masih serba manual dan memakan banyak waktu. Hal ini tentunya berpengaruh pada pencapaian target SLA (Service Level Agreement) pelaku industri sehingga prosesnya jadi semakin tidak efisien dan produktivitasnya tidak maksimal.
Hambatan Operasional Logistik dan Penerapan Teknologi Digital pada Industri Manufaktur
Beberapa hambatan di atas semakin mendorong terjadinya penguatan strategi logistik sebagai tugas utama bagi pelaku industri manufaktur. Ini merupakan pertanda bagi para pelaku industri untuk mulai mengubah proses distribusinya dari yang masih manual jadi mulai beradaptasi dan mulai beradaptasi dengan digitalisasi logistik. Penerapan teknologi digital pada operasional bisnis, termasuk kegiatan logistik, merupakan salah satu langkah yang tepat agar bisa cepat pulih dari dampak pandemi Covid-19. Penerapannya dapat memangkas biaya logistik namun tetap berkualitas sehingga mampu memenuhi standar dan target.
Sayangnya, berdasarkan hasil survei yang diadakan oleh McKinsey, penggunaan teknologi Industri 4.0 pada sektor manufaktur menunjukkan bahwa kesadaran di Indonesia masih rendah, dengan hanya 21% pelaku bisnis di sektor terkait yang sudah mengaplikasikannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku industri sektor manufaktur di Indonesia masih mengoperasikan sistem yang belum terkomputerisasi (computerized). Persentase tersebut merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia lainnya. Seperti Korea Selatan, di mana setidaknya 30% dari pelaku bisnis di sektor manufakturnya sudah menggunakan teknologi digital, disusul oleh Jepang 40%, Singapore 50%, dan China yang menempati persentase paling tinggi sebesar 50%. Persentase yang diduduki oleh Indonesia masih bisa ditingkatkan mengingat luasnya potensi yang dimiliki dari segi sumber daya dan tenaga kerja yang dapat mendongkrak tingkat produktivitasnya.
Seperti yang sebelumnya pernah diprediksi oleh McKinsey, bahwa pemanfaatan teknologi Industri 4.0 mampu mendorong produktivitas hingga 40-70% dan menghasilkan lebih dari 20 juta lapangan pekerjaan. Selain itu, disebutkan juga bahwa penguatan basis logistik dalam supply chain merupakan salah satu cara untuk keluar dari jeratan dampak pandemi Covid-19, terutama penguatan dari sisi kualitas dan efisiensi budget. Kedua survei di atas membuktikan bahwa penerapan komputerisasi dalam operasional bisnis merupakan sebuah urgensi, tidak terkecuali digitalisasi dalam kegiatan logistiknya, guna mendukung efisiensi dan produktivitas sebagai solusi cermat untuk keluar dari jeratan pandemi Covid-19.
Digitalisasi Logistik Sebagai Solusi Secara Menyeluruh
Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi canggih dalam proses logistik adalah dengan menggunakan software berbasis cloud seperti Transportation Management System atau biasa dikenal dengan TMS. TMS adalah platform logistik yang didesain untuk menyederhanakan dan mengintegrasikan proses pengiriman suatu barang berbasis cloud atau SaaS (Software as A Service). Platform ini merupakan jawaban dari segala tantangan logistik karena selain pengelolaannya yang mudah, TMS juga mampu mengefisienkan proses logistik dan meningkatkan produktivitas berdasarkan analisis data yang akurat.
Dengan teknologi canggih yang mumpuni, TMS mampu mengintegrasikan dan menyederhanakan seluruh kompleksitas proses distribusi tersebut dari tahap awal perencanaan delivery order, mengatur manajemen muatan, melacak aktivitas saat eksekusi pengiriman, hingga tahap akhir seperti urusan administrasi dan dokumentasi.
Seperti yang dikatakan oleh Delita selaku Product Lead Marketing Manager dari Kargo Nexus “Seluruh proses ini merupakan tanggung jawab yang besar dan panjang. Bayangkan saja jika perusahaan besar dengan value miliaran hingga triliunan harus melakukan proses ini dari awal hingga akhir secara manual setiap harinya. Padahal, setiap hari mereka bisa melakukan banyak sekali pengiriman”, ujarnya.
“Apalagi sejak pandemi Covid-19 melanda, di mana interaksi sesama manusia jadi lebih berkurang, namun produktivitas masih harus berjalan. Ini jadi tantangan tersendiri karena keterbatasan ini mengakibatkan disrupsi dalam proses supply chain-nya, tapi perusahaan juga harus langsung bergerak cepat untuk menemukan solusinya. Nah, di sinilah peran terbesar dari digitalisasi logistik sangat dibutuhkan. Urgensi suatu perusahaan untuk menggunakan software berbasis SaaS adalah suatu keharusan.” imbuhnya lagi.
Seperti yang dipaparkan oleh survei McKinsey di atas, bahwa sebagian besar perusahaan di dunia tengah mempertimbangkan untuk berinvestasi lebih pada digitalisasi supply chain-nya pasca pandemi Covid-19.
77% dari mereka mengutamakan visibilitas dalam prosesnya untuk menilai efisiensinya dan pencapaian target SLA secara remote. Software seperti SaaS tentunya memiliki alat spesifik untuk membantu hal ini. Prioritas ke-2 adalah dari sisi Perencanaan (Planning) dengan persentase sebesar 76% mengingat perencanan adalah tahap pertama yang tidak bisa dilewatkan karena setiap harinya perusahaan akan mengatur berapa banyak pengiriman yang akan dikirim, akan menggunakan armada dari vendor apa saja, tipe truk yang ditentukan, timing dan deadline-nya, dan lain-lain.
Kemudian 73% dari pelaku industri memprioritaskan Perencanaan End-to-End yang mampu memberikan visibilitas dan informasi terkini terkait eksekusi pengiriman dari awal hingga akhir. Lalu Network Modeling dengan persentase sebesar 45% dan Kemampuan dalam Memonitor Disrupsi Supply Chain dengan persentase 39% agar suatu perusahaan mampu mendeteksi dan memprediksi jika terjadi gangguan dalam sistem supply chain dari jauh hari.
“Survei prioritas digitalisasi supply chain ini menunjukkan tingkat kesadaran dan keseriusan perusahaan untuk mulai beralih dari operasional logistik yang manual ke digital saat pandemi Covid-19 mulai mereda. Pasalnya, situasi ini telah menyadarkan mereka apa saja kekurangan dan kelemahan dalam sistem operasional logistiknya. Akhirnya mereka pun menyadari, agar dapat bertahan dan beradaptasi dengan situasi, diperlukan percepatan dalam digitalisasi logistik. Digitalisasi logistik ini penting untuk menyempurnakan what lacks in their logistics operational process”, jelas Delita.
Digitalisasi Logistik Menggunakan Software TMS
Proses otomatisasi logistik dengan TMS membuat biayanya jadi murah tanpa mengurangi kualitas dan efektivitasnya. Seperti yang telah dibuktikan oleh salah satu perusahaan raksasa FMCG, Danone Aqua, yang merasakan manfaat dari penguatan sistem operasional logistiknya melalui digitalisasi. Danone Aqua memilih untuk menggunakan software yang ditawarkan oleh Kargo Nexus untuk mengintegrasikan seluruh proses operasional logistiknya. Kargo Nexus mengatur dari manajemen pengiriman barang first, mid hingga last mile delivery, pemilihan vendor/transporter, pemantauan pengiriman, hingga analisis performa berbasis data secara digital melalui pemanfaatan teknologi. Platform ini juga membantu pembuatan keputusan bisnis secara akurat melalui laporan analisa data yang komprehensif dan dapat menentukan volume alokasi pengiriman pada transporter berdasarkan data performa yang terjadi di lapangan, untuk tetap selaras sampai tujuan.
Muhammad Riefqi, C&P Sr. Manager Logistic Danone Aqua menjelaskan “Di Indonesia, salah satu tantangan utama yang kami hadapi di lapangan adalah banyaknya waktu dan perencanaan yang dibutuhkan untuk berkoordinasi antara vendor dan pengemudi. Dengan solusi teknologi terbaru Kargo, kami dapat menghemat waktu karena vendor dan pengemudi dapat berinteraksi langsung melalui satu platform. Berkat Kargo, kini Danone Aqua tidak perlu lagi mengejar-ngejar penyedia truk melalui telepon atau email. Sekarang, status pengiriman telah terpampang rapi dan sangat mudah untuk kami akses,” jelasnya.
Di dalam sistemnya, Kargo Nexus memiliki 4 (empat) fitur utama yang mendukung efisiensi dan efektivitas proses logistik yaitu Private Marketplace, Transport Management, Shipment Visibility, dan Business Intelligence.
1.) Private Marketplace dapat mengefisiensikan biaya logistik dengan keunggulan Price Estimation yang mampu memberikan estimasi harga umum dari suatu rute dan Private Bidding yang memberikan hak istimewa (privilege) bagi perusahaan dan vendor transportasi dalam menentukan harga terbaik yang kompetitif.
2.) Fitur Transport Management juga dapat meningkatkan efektivitas kegiatan logistik dengan kemudahan mengatur manajemen transportasi langsung dari aplikasi. Dari menentukan vendor transportasi, tipe armada, hingga penugasan DO (Delivery Order) kepada driver, semuanya akan diatur dalam satu platform saja tanpa harus menghubungi admin satu per satu.
3.) Kemudahan manajemen tersebut menciptakan Shipment Visibility yang tinggi, di mana perusahaan bisa langsung melacak progress pengiriman secara real-time sehingga informasinya akurat dan paling terkini. Berkat fitur ini, perusahaan tidak perlu lagi meragukan proses pengiriman karena driver sudah dilengkapi dengan GPS di dalam aplikasi khusus dan juga GPS yang dipasangkan pada armada transportasi.
4.) Kemudian terdapat juga fitur unggulan Kargo Nexus yaitu Business Intelligence yang menyediakan seluruh analisis data secara lengkap. Berkat fitur ini, perusahaan bisa meningkatkan pencapaian target SLA berdasarkan dokumentasi dan insight data yang menunjukkan vendor transportasi apa saja yang selama ini digunakan dan apa siapa saja yang menawarkan layanan terbaik dengan harga yang kompetitif. Perusahaan bisa menilai dan mengevaluasi kembali kebijakan yang akan diambil terkait operasional logistik agar senantiasa lebih baik lagi kedepannya.
Berbekal teknologi digital yang unggul, Kargo Nexus merupakan solusi tepat bagi para pelaku industri sektor manufaktur untuk mulai mendigitalisasikan operasional logistiknya. “Sangat penting bagi mereka untuk mulai mengadaptasikan teknologi dalam operasional logistiknya, karena industri manufaktur Indonesia perlu segera pulih dari dampak pandemi Covid-19 ini namun juga tetap meningkatkan kualitas produktivitasnya. Apa lagi mengingat tingginya demand dan pentingnya produksi dan distribusi di sektor ini. Kita perlu memangkas inefisiensi, hidden cost yang memakan biaya, dan proses yang serba manual”, tegas Delita.
Sejalan dengan salah satu fokus pemerintah saat ini, yaitu untuk mempercepat pemulihan industri sektor manufaktur dengan penerapan Industri 4.0. Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dalam laman resminya, bahwa industri manufaktur Indonesia menyumbang sebesar 17,34% pada PDB Indonesia. “Untuk mendukung hal ini, digitalisasi dalam operasional logistik perlu direalisasikan secepatnya agar prosesnya lebih efisien dan efektif. Sesuai juga dengan misi jangka panjang Kargo Nexus yaitu untuk mencapai 100% productivity gain melalui proses supply chain dan logistik melalui digitalisasi”, tambah Delita.
Tentang Kargo Technologies
Kargo Technologies adalah platform truk B2B terbesar di Indonesia. Layanan Kargo dapat berintegrasi dengan bisnis apa pun dan membuat proses rantai pasokan berjalan lebih transparan & efisien. Berbasis teknologi digital, fitur-fitur dalam semua layanan Kargo memungkinkan proses pengiriman lebih mudah. Platform Kargo memiliki jaringan mitra vendor dan transporter yang berkualitas dan terpercaya. Platform ini telah berhasil menumbuhkan 15 kali volume-nya selama setahun terakhir dan menarik klien-klien besar seperti Danone, Unilever, Coca-Cola, Shopee, Maersk, dan beberapa lainnya.